Aku, lagi-lagi dibuat heran karena keunikan sosok itu. Sungguh luar biasa.
Kali ini tentang air mata.
Tampaknya produksi air mata miliknya sangat terbatas, akan keluar di saat tertentu yg benar-benar membuatnya merasa berat tak terkira. Berbeda denganku yang sangat mudah mengeluarkan buliran air di pelupuk mata.
Yang kutahu dan kurasakan, apa yang ia rasakan adalah berat. Tak semua perempuan merasakannya. Tak semua mampu menghadapinya.
Ia begitu tegar. Sangat kuat.
Sejak kepergian suami yang ia cinta, hanya sekali ketika tepat hari kepergian kekasih hatinya itulah aku melihat sembab matanya. Selebihnya bahkan hingga detik ini, tak pernah. Bukan ia tak cinta, bukan pula tak sedih. Tapi ia memang perempuan super baja. Dan yang kutahu, beberapa kali ia menyembunyikan keluh pedihnya.
Masih kental di ingatanku ketika usiaku masih anak-anak, ia menguatkanku dengan cara berpikir positif atas kepergian pemimpin rumah tangga yang sangat bijak itu. Lagi, tanpa air mata. Tegar. Tak pernah ia mengeluhkan keadaan meski benar itu tak mudah. Ia lebih memilih bergerak mencari jalan bahkan dengan berjalan kaki. Tanpa malu. Tanpa ragu.
Saat beberapa kali melihat perempuan lain dengan nasib yang hampir sama berkeluh kesah, meraung-raung bahkan memilih mencari pasangan hidup lain, aku justru menemukan cara berbeda yang ia lakukan. Bukan demi dirinya. Tapi demi anak-anaknya. Demi cintanya kepada kekasih sejati yang telah tujuh belas tahun meninggalkannya.
Ah, betapa banyak keunikan tentangnya. Baik buruk yang menjadi satu, menunjukkan kesempurnaannya sebagai manusia biasa, yang semoga Allah menyempurnakannya sehingga terampunilah keburukannya, sempurnalah sebagai hamba yang berhak menjadi manusia pilihan untuk saling bersanding dengan kekasihnya di surga bersama Rasulullah, para sahabat dan orang-orang shalih lainnya.
Siang lalu, sebelum aku kembali meninggalkannya, sang kekasih hati menjadi topik pembahasan yang membuatnya mengalir bercerita. Lagi, tanpa air mata. Dan justru aku yang menyembunyikan wajah darinya. Segera memendam dan menyapu sesuatu yang terasa mulai basah.
Siang itu, selalu begitu.
Selalu, yang membuatku kemudian berat melangkah dan selalu menoleh sebelum bayanganku benar-benar tak tampak lagi di matanya. Adalah perhatiannya yang penuh cinta kasih. Kesabaran dan ketelatenannya seketika menyeruak dan selalu begitu. Dibalik kerasnya mendidik, tersimpan sejuta kelipatan kehalusan dan ketulusan.
Selalu begitu, dan kurasa banyak makhluk sejenisnya yang juga melakukan hal itu.
Beliaulah yang selalu merepotkan diri meski sudah kularang. Bukan aku tak mau, tapi aku tak ingin membuatnya repot. Namun kemudian kupahami bahwa itulah salah satu caranya membuktikan cinta, salah satu kebahagiaan dan kepuasannya.
Selalu begitu, ia akan sibuk menyiapkan makanan kesukaanku. Ia yang akan duduk bersamaku dan mulai berkisah. Apa saja. Dan aku pendengar setianya. Ia pun selalu menjadi pendengar setia atas uraian kisahku. Dan setiap malam, aku selalu terlelap di sampingnya, memeluknya.
Selalu begitu, ia yang selalu sibuk dengan barang-barangku. Bajuku yang tiba-tiba menghilang dan telah berjajar di jemuran karena tangan halusnya tanpa permisi mencucikannya untukku dan tak pernah kapok meski aku sudah protes, "Aku sudah dewasa." Dan dengan tergopoh ia selalu menjawab, "Sudahlah.. Sana kamu istirahat saja. Santai saja di sini, kamu biasanya sibuk, Sana baca-baca, denger musik, bla..bla..bla.."
Selalu begitu, ia juga yang paling mengerti kebutuhan air minumku yang hampir satu tandon. Selalu ia siapkan berbotol-botol di meja, di kamar, di ruang tengah dimana aku singgah. Ia yang paling mengerti betapa bersemangatnya aku dengan air putih.
Ia yang selalu mengenangku saat melihat nanas sebagai musuhku, sayur bayam sebagai sayur favorit layaknya Popeye dan bagaimana gaya makanku.
Selalu begitu, dia yang selalu menyiapkan bekal kepergianku. Pakaian yang sengaja kutinggal dilemari ia keluarkan, barangkali akan kubawa. Menanyakan apa saja yang masih kurang dan jangan sampai tertingal. Mengingatkan, "Nggak bawa buku?" karena hafal, tempat yang selalu kudatangi dan kupandangi lama bahkan kubongkar-bongkar adalah lemari buku. Juga yang selalu membawakan berbagai snack untuk menemani perjalanan. Mulai dari coklat, snack pedas, manis dan tak pernah luput ; sebotol air.
"Ini terlalu banyak," ucapku.
"Ahh... Ini nanti juga cepat habis. Memangnya di sana kamu punya makanan apa?"
"Ada, tenang saja.."
Dan ia selalu tak percaya. Tetap saja memasukkannya.
"Bawa beras ya?" sarannya.
"Ahh... Ini nanti juga cepat habis. Memangnya di sana kamu punya makanan apa?"
"Ada, tenang saja.."
Dan ia selalu tak percaya. Tetap saja memasukkannya.
"Bawa beras ya?" sarannya.
Aku tertawa, "Haah,,, mau buat apa? Tidak usah, aku aja nggak pernah masak. Tidak sempat. Sudah, nggak usah ya.."
"Bawa lemari kecil itu yaa, buat barang-barangmu."
Selalu begitu. Bawa ini, itu.
"Ahh,,, aku sudah dewasa... Aku bukan anak kecil lagi," ungkapku heboh kemudian menenangkannya. Dan ia pun tertawa, mengalah, mengerti.
"Bawa lemari kecil itu yaa, buat barang-barangmu."
Selalu begitu. Bawa ini, itu.
"Ahh,,, aku sudah dewasa... Aku bukan anak kecil lagi," ungkapku heboh kemudian menenangkannya. Dan ia pun tertawa, mengalah, mengerti.
Begitulah ia. Jika kau tanya siapa super heroku, kujawab DIALAH IBUKU.
Yang tak pernah luput dari pengorbanan. Yang rela berpanas-panas. Rela beradu dingin. Rela menahan lapar dahaga. Rela menahan malu dan gengsi. Rela tak memikirkan pakaian baru, rela, rela, rela segalanya.
Dialah super heroku. Yang selalu menenangkan saat gundahku tampak tak terelakkan. Yang selalu mengembuskan nafas semangat, yang dengan sabar mengayomi, mengajak bermain beraneka permainan saat aku masih kanak-kanak, membuat perlombaan sendiri antara aku dan kedua adikku, yang dengan kalem lapang membuka jalan yang akan kupilih, tanpa paksaan. Yang dengan indah mengungkapkan doa pengharapannya, yang dengan ikhlas melepas terbangku.
Dialah ibuku, sosok yang biasanya kupanggil Mami.
Love you Mom...
Semoga Allah senantiasa memberkahimu. Segala doa terbaik kupersembahkan untukmu.
Dan engkaulah alasanku.
Jombang, 2 April 2016
Dari anakmu, Mam...
Ani
Semoga Allah senantiasa memberkahimu. Segala doa terbaik kupersembahkan untukmu.
Dan engkaulah alasanku.
Jombang, 2 April 2016
Dari anakmu, Mam...
Ani
0 komentar:
Posting Komentar