This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 03 Mei 2016

"UDAH BUNDARIN AJA!"




Sudah tahu salah satu karya Ust. Felix Y. Siauw yang berjudul "Udah Putusin Aja!" kan?
Yup, ini berbeda dengan karya Ustadz mu'allaf itu. Lebih tepatnya, ini tentang "Udah Bundarin Aja!"

Sebelum ke inti bahasan “Udah Bundarin Aja!”, sejenak saya ingin berbagi kisah nyata yang sering kali terjadi di pondok pesantren dan kehidupan bermasyarakat pada umumnya.

*****
Alkisah tiga santri (Restu, Infanda dan Narnia *nama samaran) tengah berseteru satu sama lain dikarenakan satu kesalahpahaman. Awalnya ketiganya pergi bersama keluar pondok karena ada urusan. Di tengah perjalanan Narnia hendak membeli es titipan teman-teman di kamarnya dan penjual es tersebut kebetulan memanggilnya.

“Ya sudah, kalian berdua duluan saja. Biar Narnia menunggu di sini,” ujar penjual es yang sudah sangat familiar dengan mereka.

Narnia terdiam tanpa kata, memandang keduanya dan gerak langkahnya menuruti saran penjual es. Melihat sikap Narnia yang demikian, Restu dan Infanda pun meninggalkannya, menuju rumah penjahit pakaian. Sepanjang perjalanan mereka saling mengungkap rasa kecewa atas sikap Narnia yang seakan membiarkan mereka pergi bahkan menganggap Narnia mengusir mereka.

Usai urusan dengan penjahit, Restu dan Infanda memilih jalur lain menuju pondok. Mereka sepakat untuk tidak lewat pintu belakang, mengira pintu itu sudah ditutup karena jam sudah menunjukkan hampir maghrib. Mereka juga sepakat membiarkan Narnia di penjual es, tidak ingin menjemputnya atau kembali bersama karena terbesit kemarahan di hati mereka.

“Biar saja, salah sendiri dia mengusir kita, membiarkan kita pergi lebih dulu. Pasti sekarang dia juga sudah pulang ke asrama dan gerbangnya sudah ditutup. Biar, nanti pasti kita berdua yang dimarahin ustadzah karena kita tidak pulang bersama-sama.”

Sementara itu Narnia tak sabar lagi menunggu mereka yang sudah cukup lama tak kunjung kembali. Ia pun memutuskan pulang lebih dulu saat gerbang belakang belum ditutup.

“Tuh kan, banyak anak putra. Kita mau lewat mana lagi? Biarlah, terpaksa lewat gerbang putra.” Dengan hati dongkol Restu dan Infanda bergegas masuk melalui gerbang putra.

Sesampainya di asrama putri mereka melihat Narnia sudah berada di kamar dengan membawa satu kresek berisikan beberapa bungkus es. Mereka pun menceritakan kejadian dan kemarahannya kepada salah seorang musyrifah asrama karena juga merasa memiliki tanggung jawab atas perizinan ketiganya yang akhirnya tidak kembali bersama.
Terjadilah gesekan di antara ketiganya. Mereka tidak saling sapa bahkan sama-sama tersungkur di balik selimut masing-masing. Ketiganya saling diam setelah sama-sama mengungkapkan kekecewaan dan kemarahan. Bahkan air mata membasahi pipi mereka.

Selang beberapa waktu kemudian datanglah sang musyrifah ke kamar mereka, menjadi penengah atas kesalahpahaman mereka. Uraian demi uraian disatupadukan dari laporan yang semula masuk dengan informasi berbeda satu sama lain. Dari penyatuan keterangan itupun diketahui bahwa ada kesalahpahaman di antara ketiganya.

Narnia yang linglung dan hanya diam menuruti saran penjual es yang bernama Bu Ndari atau biasa juga dipanggil Mbak Ndari (istri Pak Kholid petugas kebersihan) itu sejatinya tidak bermaksud mengusir kedua temannya. Dia yang lama menunggu mereka pun merasa kecewa dan marah karena keterlambatan mereka tanpa kabar. Ia berpikir kedua temannya meninggalkannya sehingga ia memilih segera kembali.

Sementara Restu dan Infanda juga berpikir tentang pengusiran yang dilakukan Narnia serta ketidaksetiakawanannya, berangapan Narnia sudah lebih dulu kembali dan mengacuhkan mereka. Jelaslah sudah kesalahpahaman mereka. Proses penyatuan tidak serta merta langsung terwujud, masih ada hati-hati yang dongkol sehingga tidak segera memaafkan.

“Ya sudah, semuanya kan tidak ada yang salah. Tadi hanya bermula dari tawaran Bu Ndarin, kan?” ujar musyrifah.

“Bukan Bu Ndarin, Us... Tanpa ‘N’, Bu Ndari,” sahut beberapa santri lain yang mengikuti proses mediasi dengan diiringi tawa riuh karena sang musyrifah berulang kali salah menyebut nama penjual es itu.    

Singkat cerita, setelah diberi pengertian hingga rayuan beberapa santri lainnya, akhirnya Restu, Infanda dan Narnia pun saling memaafkan dan berpelukan. Seluruh santri di dalam kamar tersebut kembali dalam keceriaan dan tawa persahabatan.

“Ukhti harus saling memaafkan. Biasanya kalau kita bertengkar kan anti juga yang bilang agar kita saling memaafkan dan tidak marah-marah,” kata salah seorang santri berkacamata.

“Iya... Masak kita harus bertengkar,” tambah santri lain yang  juga ditambah komentar beberapa santri. Senyum kembali merekah, satu kesalahpahaman telah usai.  

Alhamdulillah, Finish yaa.. Tidak ada salah paham dan marah-marahan lagi, kan? Besok beli es di Bu Ndarin tidak pakai saling dongkol lagi yaa..” tutup sang musyrifah.

“Bukan Bu Ndarin, Us.... Ndari, tanpa ‘N’,” teriak seluruh santri diiringi tawa. Rupanya ada kesalahpahaman kedua yang muncul tentang Bu Ndarin.

“Eh iya, Bu Ndari. Bukan Bu Ndarin. Nah, cocok nih.. Udah Bundarin Aja!

Seluruh santri bertanya-tanya, saling pandang tak mengerti maksudnya. Bundarin? “Udah Bundarin Aja!”, maksudnya? Mereka dibuat penasaran akan makna kalimat singkat itu.

*****


Yup! Ada maksud lain dibalik “Udah Bundarin Aja!”
Berasal dari kata bundar yang berarti lingkaran, melingkar. Dalam bahasa santai non formal, budarin berarti kata perintah yang menunjukkan agar melingkar. Lebih jauh, bundarin atau lingkarkanlah, bundarkanlah bermaksud agar kita merundingkan bersama dalam bundaran ukhuwah, bundaran musyawarah, bundaran perdamaian.
Seperti halnya kisah kesalahpahaman tiga sahabat tadi yang pada akhirnya dapat diselesaikan dengan proses ‘pembundaran’ oleh beberapa orang yang saling berupaya menyelesaikan, memiliki hajat yang sama yaitu perdamaian dan keutuhan persahabatan.

“Udah Bundarin Aja!” mengajarkan kepada kita untuk tidak memperpanjang permasalahan yang ada. ‘Jangan persulit kesukaran dan jangan persukar kesulitan’ dengan ‘menyelesaikan masalah tanpa masalah’.

“Udah Bundarin Aja!” juga mengajarkan adanya ketidaksempurnaan dalam diri manusia, ada khilaf yang harus disatupadukan kembali dengan cara manusia, cara kekeluargaan dan saling pengertian. ‘Man tholaba akhon bilaa ‘aibin baqiyaa bilaa akhin,’ artinya, ‘Barangsiapa mencari teman yang tidak memiliki aib atau cela, maka ia tidak akan mendapatkan teman.’ Itulah sebabnya memiliki sifat saling mengerti dan memaafkan akan membuat hati lebih legowo dan sahabat akan mudah didapat.

“Udah Bundarin Aja!” mengajak kita untuk menyederhanakan permasalahan, menyambungkan jalinan persahabatan yang mungkin telah didoktrin “Udah Putusin Aja!”

Jika yang dimaksud dengan “Udah Putusin Aja!” untuk hal-hal negatif, maka itu sangat dianjurkan, memotong habis segala keburukan menuju perbaikan. Namun jika digunakan untuk memutus ikatan positif, maka jalan yang harus ditempuh adalah  “Udah Bundarin Aja!”

“Udah Bundarin Aja!” bukan sekedar nama seorang penjual es, ada makna lain yang tak sengaja didapat dan mampu memberikan pelajaran kepada kita agar bisa berpikir lebih dewasa, bijak dan bersahabat. “Udah Bundarin Aja!” Lupakan kedongkolan, lupakan kesalahpahaman, satukan kembali ikatan, bersama dalam ukhuwah Islamiyah.

“Udah Bundarin Aja!” akan menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan bagi santri putri SMP-MBS Jombang, juga menjadi hikmah bagi yang lainnya untuk dijadikan pecikan inspirasi dengan menyederhanakan permasalahan, menyelesaikan masalah dan bukan mempermasalahkan masalah. “Udah Bundarin Aja!”


~ Qurani

Bareng, Jombang | 4 Mei 2016 

Jumat, 01 April 2016

NYANYIAN BINTANG


'Cause all of me loves all of you
Love your curves and all your edges
All your perfect imperfections
Give your all to me
I'll give my all to you
You're my end and my beginning
Even when I lose I'm winning
'Cause I give you all of me


And you give me all of you, oh oh

**********


Adalah Bintang, gadis cilik yang belum genap lima tahun itu putri pertama Mas Beni dan Mbak Indah, tetangga depan rumahku. Aku tak banyak tahu tentangnya, bahkan kelahirannya pun aku tak tahu karena memang aku lama merantau dan pulang hanya satu tahun sekali. 

Malam itu seperti biasa, aku bersilaturrahim bergilir ke rumah bibi dan Mbak Sam, tetangga sebelah yang seperti saudara sendiri. Selepas itu, aku kembali pulang dan mendapati Bintang tengah berdiri sendiri di depan rumahnya. Tak hanya berdiri, ia juga berjalan kesana-kemari dengan sebuah selimut membalut tubuhnya bak pakaian ibu peri. Ia menari-nari, dan yang lebih menarik perhatianku adalah suaranya. 

Nyaring sekali ia berdendang. Suaranya yang imut terdengar menggelikan. Aku tak segera masuk ke dalam rumah, masih asyik menikmati pemandangan lucu dari seorang bocah lucu yang menari-nari dengan menyanyikan lagu yang tak asing di telingaku. Bintang, tak sedikitpun malu bahkan saat melihatku menikmati tingkahnya. 

Yang kutahu, Mas Beni sejak remaja memang sangat suka musik dan menyalakannya dengan kencang mulai musik pop, religi, hingga lagu-lagu berbahasa Inggris. Persis seperti Mas-masku yang lain dan juga adik-adikku atau sepupu samping rumah. Memang itulah salah satu kebiasaan anak muda di desa kami yang terkadang bergantian memainkan musik kesukaan masing-masing. 

Di balik tirai jendela ruang tamu, aku kembali mengamatinya. Aku tertawa geli melihat Bintang yang berambut ikal dengan fasih menyanyikan lagu John Legend yang diiringi musik asli dari dalam rumahnya. Aku heran, takjub dan geli karena cara bernyanyinya yang tak menunjukkan dia seorang batita. Meski terdengar fasih dan hafal tiap bait lagu itu, tak lepas darinya suara 'pelat' dan 'cekli' miliknya. Bintang tampak bahagia. Ia masih terus saja menyanyi dan menari-nari dengan lagu berbahasa Inggris yang ia hafal baik lirik maupun nadanya. Sesekali nafasnya tersengal-sengal, semakin menambah kelucuannya. 

Bintang, nyanyiannya memberikan pelajaran kepadaku. Bukan soal makna dari lagu itu. Dari situlah aku mengurai kehidupan seorang anak dengan golden age-nya yang masih segar, lentur, membutuhkan sentuhan dan arahan.. Ini soal habbit, kebiasaan yang sejak kecil sudah dibentuk dan kelak akan menuai buahnya. Benar memang, meski tampak sepele kebiasaan yang berulang dilakukan sedari dini akan berpengaruh saat dewasa nanti. Termasuk lagu yang berbahasa Inggris. Anak sekecil itu akan menangkap apa yang ia dengar, ia akan mengikuti dan tanpa menghafalpun ia akan hafal dengan sendirinya. Lihatlah, kelak ketika dewasa ia akan menyukai lagu bahasa Inggris, pelajaran bahasa Inggris dan macam-macam terkaitnya yang tentu tak dapat dipungkiri membawa dampak positif bagi dirinya. 

Selain kebiasaan, ada teladan yang dicontoh. Dari mana dia bisa berbicara jika tidak melihat orang di sekelilingnya berbicara? Begitu pula dengan kerja otak dan akhlaknya. Ia akan mencontoh orang terdekatnya. Termasuk soal bahasa itu tadi yang mau tidak mau akan mengikuti setiap jejak pendidikannya bahkan jika terjun di dunia kerja atau dunia lain. 

Hal ini seperti yang kusimpulkan dari apa yang kurasakan dari Mas dan Mbakku. Mungkin mereka tidak menyadarinya, tapi sebenarnya sudah lama aku menyimpulkannya. Pertama, buku. Setiap pulang dari rantauan, Mas dan Mbakku membawakan buku untuk adik-adiknya. Yang kuingat, saat itu Masku menghadiahkan beberapa buku yang sangat kusuka dan kubaca bersama adikku berulang-ulang tanpa bosan, yaitu Ensiklopedi Anak Nasional Indonesia, Paman Gobber (Komik Donald Duck), Toto Chan Gadis Kecil di Jendela dan beberapa yang lain. 

Masku yang lain, duduk bersamaku di ruang tamu dan memintaku membacakan buku untuknya lengkap beserta foot note yang ada. Yang kuingat, buku yang pernah kubacakan untuknya adalah Tenggelamnya Kapal Vander Wick, Dialog dengan Jin Muslim dan yang lain aku lupa. Ketika aku membacanya, muncul pula pertanyaanku kepadanya, maka ia pun menjelaskan apa yang ditanyakan anak kecil sepertiku dulu. Hingga aku telah beranjak seusia SMA, kami bertukar bacaan dan dia asyik mendekam di kamar atau ruang tamu untuk membaca buku yang kubawa. 

Sementara salah satu Mbakku yang saat itu masih kuliah, setiap kali perpulangannya selalu membawa novel atau majalah Annida yang membuat aku dan Mbakku yang satu lagi berebut bahkan bertengkar karena ingin segera membacanya. Annida memang majalah, tapi ia juga menjadi julukan bagi dua bocah yang saling berebut, singkatan dari namaku dan nama Mbakku. Aku melihat dan merasakannya. Hingga dewasa, hawa itu masih terasa. Termasuk bagaimana Bapak dan Ibuku dulu yang juga memiliki sejarah tentang buku. 

Kedua, lagu. Mas-Mbakku punya beberapa selera yang sama soal musik. Nasyid dan lagu berbahasa Inggris mulai membudaya sejak lama. Tentang nasyid, bahkan Mbakku mencatatkan liriknya dan mengajariku seperti sedang les nyanyi. Lama kelamaan aku menyadari, itu salah satu dakwahnya di dalam keluarga di antara dakwah-dakwahnya yang lain. 

Sementara yang berbau British, hampir semua menyukai musik berbahasa Inggris. Bukan sekedar untuk gaya-gayaan, tetapi juga sebagai pembelajaran. Dari situlah, mau tak mau menjadi tahu dan mencari tahu. Terkadang, meski belepotan saling chat dengan beberapa Mas dengan menggunakan bahasa Inggris. Ia pun sering update status di media sosial atau mengomentariku dengan menggunakan bahasa itu. Meski tidak pandai, tidak mahir dan sedikit tahu, paling tidak punya celengan tahu. Hingga yang unik, saat kutanya adikku tentang itu, dia menjawab dengan santainya, "Nggak tahu artinya, cuma suka aja, dengerin aja, ngawur aja liriknya, ngikutin." 

Bahasa internasional, ia memang bukan bahasa akhirat, bukan bahasa Islam. Tapi mau tidak mau, mengakui atau tidak, setuju atau berontak, tak dapat dipungkiri faktanya bahwa ia memang sangat penting. Terlebih di dunia dengan zaman seperti ini. Begitupun buku, sejak kanak-kanak sering sekali mendengar, "Buku adalah jendela dunia." Ya, Islam pun mengajarkan agar kita menuntut ilmu walau ke negeri China, mencarinya sejak dari perut bunda hingga liang lahat, minal mahdi ilal lahdi, faridhotun 'ala kulli Muslimin hingga dikatakan undzur maa qoola, walaa tandzur man qoola, lihatlah apa yang disampaikan jangan melihat siapa yang menyampaikan. 

Melihat dan mendengar Nyanyian Bintang, membuatku kembali menyadari akan pentingnya belajar mulai dini hingga tingkat usia yang meninggi. Bukan hanya di posisi Bintang atau posisiku di edisi lama saat masih bocah dulu. Tapi di edisiku yang saat ini, yang harus terus belajar bahkan di edisiku kelak saat berada pada posisi menjadi sosok orang tua. 

Wallahua'lam.
Semoga bisa mengambil hikmah dari apa saja yang ada di depan mata. Lihat, dengar dan rasakan. 
Terima kasih kepada keluargaku tercinta yang dengan kesederhanaannya memberikan banyak warna yang mungkin tak disadari sebelumnya namun cukup dahsyat dampaknya.




Tetap, dan selalu seperti ini ; keep learning, growing and inspiring.



Jombang, 2 April 2016 | 10.34 WIB

~ Qurani





JIKA KAU TANYA SIAPA SUPER HEROKU, KUJAWAB DIALAH IBUKU

Aku, lagi-lagi dibuat heran karena keunikan sosok itu. Sungguh luar biasa.
Kali ini tentang air mata. 

Tampaknya produksi air mata miliknya sangat terbatas, akan keluar di saat tertentu yg benar-benar membuatnya merasa berat tak terkira. Berbeda denganku yang sangat mudah mengeluarkan buliran air di pelupuk mata.

Yang kutahu dan kurasakan, apa yang ia rasakan adalah berat. Tak semua perempuan merasakannya. Tak semua mampu menghadapinya.
Ia begitu tegar. Sangat kuat.

Sejak kepergian suami yang ia cinta, hanya sekali ketika tepat hari kepergian kekasih hatinya itulah aku melihat sembab matanya. Selebihnya bahkan hingga detik ini, tak pernah. Bukan ia tak cinta, bukan pula tak sedih. Tapi ia memang perempuan super baja. Dan yang kutahu, beberapa kali ia menyembunyikan keluh pedihnya.

Masih kental di ingatanku ketika usiaku masih anak-anak, ia menguatkanku dengan cara berpikir positif atas kepergian pemimpin rumah tangga yang sangat bijak itu. Lagi, tanpa air mata. Tegar. Tak pernah ia mengeluhkan keadaan meski benar itu tak mudah. Ia lebih memilih bergerak mencari jalan bahkan dengan berjalan kaki.  Tanpa malu. Tanpa ragu.

Saat beberapa kali melihat perempuan lain dengan nasib yang hampir sama berkeluh kesah, meraung-raung bahkan memilih mencari pasangan hidup lain, aku justru menemukan cara berbeda yang ia lakukan. Bukan demi dirinya. Tapi demi anak-anaknya. Demi cintanya kepada kekasih sejati yang telah tujuh belas tahun meninggalkannya.

Ah, betapa banyak keunikan tentangnya. Baik buruk yang menjadi satu, menunjukkan kesempurnaannya sebagai manusia biasa, yang semoga Allah menyempurnakannya sehingga terampunilah keburukannya, sempurnalah sebagai hamba yang berhak menjadi manusia pilihan untuk saling bersanding dengan kekasihnya di surga bersama Rasulullah, para sahabat dan orang-orang shalih lainnya.

Siang lalu, sebelum aku kembali meninggalkannya, sang kekasih hati menjadi topik pembahasan yang membuatnya mengalir bercerita. Lagi, tanpa air mata. Dan justru aku yang menyembunyikan wajah darinya. Segera memendam dan menyapu sesuatu yang terasa mulai basah.

Siang itu, selalu begitu. 
Selalu, yang membuatku kemudian berat melangkah dan selalu menoleh sebelum bayanganku benar-benar tak tampak lagi di matanya. Adalah perhatiannya yang penuh cinta kasih. Kesabaran dan ketelatenannya seketika menyeruak dan selalu begitu. Dibalik kerasnya mendidik, tersimpan sejuta kelipatan kehalusan dan ketulusan. 

Selalu begitu, dan kurasa banyak makhluk sejenisnya yang juga melakukan hal itu. 
Beliaulah yang selalu merepotkan diri meski sudah kularang. Bukan aku tak mau, tapi aku tak ingin membuatnya repot. Namun kemudian kupahami bahwa itulah salah satu caranya membuktikan  cinta, salah satu kebahagiaan dan kepuasannya. 

Selalu begitu, ia akan sibuk menyiapkan makanan kesukaanku. Ia yang akan duduk bersamaku dan mulai berkisah. Apa saja. Dan aku pendengar setianya. Ia pun selalu menjadi pendengar setia atas uraian kisahku. Dan setiap malam, aku selalu terlelap di sampingnya, memeluknya. 

Selalu begitu, ia yang selalu sibuk dengan barang-barangku. Bajuku yang tiba-tiba menghilang dan telah berjajar di jemuran karena tangan halusnya tanpa permisi mencucikannya untukku dan tak pernah kapok meski aku sudah protes, "Aku sudah dewasa." Dan dengan tergopoh ia selalu menjawab, "Sudahlah.. Sana kamu istirahat saja. Santai saja di sini, kamu biasanya sibuk, Sana baca-baca, denger musik, bla..bla..bla.."

Selalu begitu, ia juga yang paling mengerti kebutuhan air minumku yang hampir satu tandon. Selalu ia siapkan berbotol-botol di meja, di kamar, di ruang tengah dimana aku singgah. Ia yang paling mengerti betapa bersemangatnya aku dengan air putih.

Ia yang selalu  mengenangku saat melihat nanas sebagai musuhku, sayur bayam sebagai sayur favorit layaknya Popeye dan bagaimana gaya makanku. 

Selalu begitu, dia yang selalu menyiapkan bekal kepergianku. Pakaian yang sengaja kutinggal dilemari ia keluarkan, barangkali akan kubawa. Menanyakan apa saja yang masih kurang dan jangan sampai tertingal. Mengingatkan, "Nggak bawa buku?" karena hafal, tempat yang selalu kudatangi dan kupandangi lama bahkan kubongkar-bongkar adalah lemari buku. Juga yang selalu membawakan berbagai snack untuk menemani perjalanan. Mulai dari coklat, snack pedas, manis dan tak pernah luput ; sebotol air. 

"Ini terlalu banyak," ucapku.
"Ahh... Ini nanti juga cepat habis. Memangnya di sana kamu punya makanan apa?"
"Ada, tenang saja.."
Dan ia selalu tak percaya. Tetap saja memasukkannya.

"Bawa beras ya?" sarannya.
Aku tertawa, "Haah,,, mau buat apa? Tidak usah, aku aja nggak pernah masak. Tidak sempat. Sudah, nggak usah ya.."
"Bawa lemari kecil itu yaa, buat barang-barangmu."
Selalu begitu. Bawa ini, itu.
"Ahh,,, aku sudah dewasa... Aku bukan anak kecil lagi," ungkapku heboh kemudian menenangkannya. Dan ia pun tertawa, mengalah, mengerti. 

Begitulah ia. Jika kau tanya siapa super heroku, kujawab DIALAH IBUKU.

Yang tak pernah luput dari pengorbanan. Yang rela berpanas-panas. Rela beradu dingin. Rela menahan lapar dahaga. Rela menahan malu dan gengsi. Rela tak memikirkan pakaian baru, rela, rela, rela segalanya. 

Dialah super heroku. Yang selalu menenangkan saat gundahku tampak tak terelakkan. Yang selalu mengembuskan nafas semangat, yang dengan sabar mengayomi, mengajak bermain beraneka permainan saat aku masih kanak-kanak, membuat perlombaan sendiri antara aku dan kedua adikku, yang  dengan kalem lapang membuka jalan yang akan kupilih, tanpa paksaan. Yang dengan indah mengungkapkan doa pengharapannya, yang dengan ikhlas melepas terbangku. 

Dialah ibuku, sosok yang biasanya kupanggil Mami. 


Love you Mom...


Semoga Allah senantiasa memberkahimu. Segala doa terbaik kupersembahkan untukmu.
Dan engkaulah alasanku.


Jombang, 2 April 2016

Dari anakmu, Mam...
Ani

Ingatlah untuk Bercermin

Judul Buku     : Ingatlah untuk Bercermin
Penulis            : Salim A. Fillah dan Tim Konselor RKI (Rumah Keluarga Indonesia)
Penerbit          : PT. Era Adicitra Intermedia
Tahun Terbit   : Agustus 2015 / Cetakan Kedua
Jumlah Hal.     : 228 Halaman
Tentang cinta dan pernikahan, lambat laun saya (mungkin juga Anda) mulai keder dengan berbagai kisah nyata yang menunjukkan wajah muram ikatan suci itu. Mengapa wajah muram? Ya, karena ternyata yang banyak saya temui adalah wajah muram akibat keretakan, perselingkuhan, perceraian, hingga surga-surga yang tak dirindukan. Tak tanggung-tanggung, siapapun yang merasakannya dan yang mengamati dengan penuh percaya diri mengklaim bahwa semua laki-laki itu sama saja. Tidak ada yang setia.
“Sebaik apapun laki-laki itu, pasti kurang, apalagi jika kita sudah mulai menua, tak lagi menarik. Alah, cuma teori yang banyak, nyatanya semua sama!” ungkap seseorang yang merasa menjadi korban wajah muram itu.
Jleb rasanya. Saya yang belum merasakannya pun menjadi kikuk. Tak pernah saya ingin merasakannya, na’udzubillah. Karena itu, saya terus menggali, pasti tidak semuanya seperti itu. Saya yakin, saya percaya, masih banyak stok laki-laki setia, untuk itu saya pun harus setia. Hingga akhirnya saya menemukan hidup happy ever after seperti dongeng-dongeng putri kerajaan di pelajaran bahasa Inggris.
Benar saja. Saya mendapat jawaban yang menenangkan dari buku berwarna merah yang berjudul Ingatlah untuk Bercermin setebal 228 halaman yang disusun oleh Ust. Salim A. Fillah bersama para konselor keluarga di komunitas Rumah Keluarga Indonesia (RKI). Lembar demi lembar yang tersaji dalam buku berukuran sedang itu terasa renyah dibaca dengan gaya bahasa yang sederhana, mengalir dan mudah masuk bahkan menusuk hati.
Buku ini berisi kumpulan kisah yang mengangkat realita kehidupan unik, menarik dan tersembunyi dalam bilik-bilik yang amat privasi. Para penulis mengajak kita untuk bercermin dengan menyajikan kisah penuh inspirasi dalam lima bagian nyentrik yaitu ‘Dalam Limpahan Barakah’, ‘Bermula dari Kata’, ‘Memaknai Kesetiaan’, ‘Anak dan Pewarisan’ serta ‘Menyikapi Ketidaksempurnaan’.
Mengawali bagian pertama, Ust. Salim menulis sebuah kisah sarat hikmah yang berjudul Ingatkan Suamimu untuk Bercermin. “Para istri, ingatkanlah suamimu untuk bercermin.” Maksudnya bukan sekedar makna kias tentang muhasabah atau perbaikan akhlak, tetapi benar-benar soal bercermin di depan kaca dalam makna lahiriah, yang mana sangat menentukan masa depan karena bisa membangun kekompakan antara suami dan istri.
Ingatlah untuk bercermin, sebuah seri ketahanan keluarga yang membuka mata hati untuk menjadikan komitmen berkeluarga sebagai pijakan utama berasaskan taqwa kepada Allah SWT, berkekuatan cinta-tulus-ikhlas dan dengan keyakinan serta perjuangan mempertahankan keutuhan rumah tangga hingga akhir waktu. Buku ini mengajarkan bagaimana seharusnya cinta dimulai dari memperindah diri, memilih calon beserta serangkaian prosesnya hingga bagaimana perjalanan bahtera rumah tangga itu bergulir waktu demi waktu. Buku ini juga membawa kita menghadapi berbagai warna hidup mulai urusan awal memulai hidup baru, pasang surut keuangan, lika-liku pendidikan anak, hingga bagaimana merawat cinta meski sudah sama-sama berusia senja.
Setelah membaca buku ini, saya semakin yakin bahwa, keindahan rumah tangga bisa semakin terpancar kuat dengan nilai-nilai Islam yang dijunjung tinggi. Dan bahwa, cinta tak pernah sesempit urusan fisik dan tak berbatas menopause sebagaimana yang saya tangkap dari salah satu kisah pendek berjudul ‘Setia Hingga Akhir Usia’.
Pesan dahsyat lain menyadarkan saya bahwa pernikahan pada akhirnya bukan hanya kumpulan dua orang yang saling menuntut agar hasrat dan kepuasan dirinya terpenuhi. Pernikahan adalah sikap untuk saling terbuka, mengerti dan memahami, hingga akhirnya pernikahan itu bisa menumbuhkan kebaikan-kebaikan pada masing-masing jiwa.
Sungguh luar biasa! Saya kini kuat meyakini, masih banyak pasangan setia yang saling menjaga pernikahan mereka. Tentu semua sangat bergantung pada kedua pasangan bagaimana menjaganya dan bagaimana koneksinya dengan Sang Pemilik Cinta. Alhamdulillah… Lega rasanya.
*****
~ Qurani

Minggu, 20 Maret 2016

SELAMAT JALAN IBU KEDUA

Pertama, saya sangat bersyukur bahagia telah mengenal beliau bahkan sejak masih kecil. Bersyukur berada di bawah bimbingan dan pengasuhan beliau saat usia belia.
Terlebih, bersyukur bisa membersamai beliau tatkala sakit yang bertahun-tahun lamanya beliau rasakan, di beberapa bulan ini semakin menjadi.
Masih jelas teringat wajah sehat segar beliau, juga wajah sakit lemah beliau. 
Masih jelas teringat saat2 bersama beliau sejak membuka mata awali hari hingga menjelang akhiri hari di malam sunyi.
Masih jelas teringat tentang kursi roda, perban, jarum suntik, obat2an dan semua yg terkait sakit dan penyembuhannya.
Kini, semua itu telah menjadi kenangan. Di awal pagi, keheningan sisa kesedihan semalam masih terasa kuat.
Kini, semua tentang beliau telah berganti. Berganti ke alam lain.
Kini, beliau telah tiada. Allah telah memanggil beliau. Tadi malam, setelah terakhir di siang hari saya menerobos memasuki ICU yg dijaga ketat dan mendapati beliau memang lebih tak berdaya. Tak ada kata yg terucap, beliau hanya diam memandang. Hampa.
Ibu Hj. Aslikah. Yang sangat peduli, tegas, diaiplin dan penyanyang. Kenangan bersama beliau masih melekat. Pun nasehat2 beliau masih jelas terukir di hati sbg pegangan utk menguatkan langkah diri.
Ibu kedua itu, semoga khusnul khotimah si sisi-Nya. Surga sebaik-baik tempat untuk beliau. Maghfiroh-Nya sebaik-baik karunia yg jauhkan dr neraka-Nya.
Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'uun..
Li kully syai-in ajal.
All will end.
Kematian pasti menjemput dengan banyak caranya, lewat banyak pintu.
Allahummaghfirlahaa, warhamhaa, wa'fu 'anhaa...
Mohon bentangkan jalan ke surga dan cinta hakiki-Mu yaa Rabb...
Aamiin...
Jombang, 18 Maret 2016
~ Qurani

Selasa, 15 Maret 2016

Kisah Inspiratif Polisi Jombang

Pelajaran Hari Ini
Belajar Solid, Sigap dan Kematian dari Pak Polisi
****
Kali ini bukan AQ yang berbincang. Tapi saya akan berbagi sebuah kejadian fakta yg baru saja terjadi dan saya berada di TKP.
Sebelumnya, saya mohon maaf kpd Bapak Polisi krn sdh menjepret beliau dg kamera HP.
Begini kejadiannya.
Pagi ini saya di UGD untuk mengurus bbrp hal krn Ibu Nyai yang sedang sakit dan 'dipaksa' hrs opname. Tiba2, "brakkkk!!" Suara yg sangat keras terdengar tepat d depan UGD RS Muhammadiyah Jombang. Saya pun langsung keluar mencari tahu sumber suara tsb. Ternyata kecelakaan motor. Tiga buah motor tergeletak di Jl. Dr. Soetomo, seorang lelaki segera dilarikan k UGD dg dibopong riga orang, seorang lagi berjalan dipapah seorang lelaki berhelm dan seorang yg lain duduk mengindari jalan raya, beliau dalam keadaan tidak gawat.
Tiga bilik UGD diisi tiga orang berbeda. Bilik pertama, seorang wanita yg sangat baik dan sangat saya sayangi. Rintihan beliau seketika kalah tertindih rintihan dr bilik kedua. Ya, seorang laki2 berseragam polisi itu bernama Pak Eko. Baru saja beliau bertabrakan keras dg seorg laki2 paruh baya yg tergeletak galau di bilik tiga.
Kondisi keduanya berbeda. Lelaki paruh baya tampak biasa, begitu pun sakitnya. Tak ada keluhan parah, hanya wajahnya yg jelas menampakkan kegalauan. Sesaat kemudian beliau berbicara melalui telpon yg mengabarkan beliau kecelakaan dan izin tdk masuk kerja.
Sementara pak polisi masih merintih kesakitan. Tdk ada lima-sepuluh menit, rombongan polisi berdatangan. Sangat cepat informasi itu sampai hingga beberapa waktu kemudian kepala polisi pun datang. Wajah-wajah beliau tampak bingung, putar sana-sini, telpon sana-sini, jalan sana-sini, membuat sy mematung bingung.
Solid. Ini yg saya dapat. Secepat kilat puluhan polisi memenuhi UGD, sebagian mengatur di jalan raya tempat kecelakaan. Semakin terdengar rintihan dan suara alat yg menyeramkan terdengar memompa, semakin berdatangan polisi yg lain. Saya juga melihat seorang polwan berjilbab tampak galau tapi tenang.
Sigap. Kesolidan itu berbuntut sigap. Kilatan kedatangan para polisi menunjukkan kesigapan atas apa yg terjadi. Baik sigap kpd sahabatnya yg tertimpa musibah maupun sigap thd kasus kecelakaan scr umum.
Kematian. Saya sempat mengintip ke bilik dua. Beberapa dokter tampak sibuk. Wajah Pak Eko pucat, begitupun tangan beliau. Sama sekali tidak ada darah, tidak ada luka. Hanya sedikit terlihat celana beliau kotor krn aspal, tdk sobek. Saya heran, mengapa sampai mengeluarkan alat berbunyi seram begitu, sementara tdk ada luka.
Bilik tiga masih galau. Tiga org laki2 yg st duga adlh teman dr korban kecelakaan itu pun tampak mematung galau dg pakaian yg sangat sederhana. Hati saya teriris melihat fenomena itu. Ditambah saat istri dan anak beliau datang dg ekspresi galau, tampilan yg juga sangat sederhana. Bilik tiga mematung menyaksikan riwa-riwinya polisi.
Sesaat kemudian seorg perempuan berseragam putih dtg tergopoh-gopoh. Dari seragamnya, menunjukkan beliau adlh perawat RSUD. Jelas saya melihat bagaimana ekspresi tangisnya. Pilu, melihat sang suami tergeletak kesakitan tanpa luka yg terlihat.
Setelah a,b,c, Pak Eko pun dilarikan ke ruang operasi.
Beberapa menit kemudian, saat saya hendak membuat tulisan ini di ruang tunggu, salah seorang polisi berdiri di depan saya dan berbincang dg org lain melalui telpon. Dari situ jelas saya mendengar bahwa Pak Eko telah meninggal dunia.
Innalillahi wa inna ilahi roji'un...
Dengan SKSD, saya pun membuka percakapan dg pak polisi, kepo. Dari situ saya mendapat kabar bahwa tdk ada luka di luar, beliau juga tdk mengidap penyakit dlm, sehat. Setir sepeda motor menghantam perut beliau dan mengakibatkan luka dlm. Belum sampai dibedah, ajal telah menjemput beliau.
Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un...
Kematian, siapa yg tahu ? Tidak sampai satu jam, Pak Eko telah pergi. Siapa yg tahu ? Masih pagi, pasti sudah diawali semangat bersama indahnya mimpi. Tapi, apakah kematian menunggu kesepakatan janji ? Tidak, tidak ada notifikasi sblmnya kalau beliau saat itu akan dijemput malaikat maut menuju alam lain yg abadi. Terlepas bagaimana jalan kematian itu, siapa yg salah, harusnya bagaimana dan lain sebagainya, kematian pasti menyapa.
Li kully syai-in ajal. 
All will end.
Saya, Qurrotu Ainy Qurani mengucapkan bela sungkawa utk Pak Eko yg telah mengabdi utk negeri ini. Semoga jannah-Nya adalah sebaik-baik tempat utk beliau, maghfiroh-Nya menyelamatkan beliau dari api neraka. Dan keluarga diberi kesabaran serta kekuatan. Aamiin
~ Qurani
Jombang, 15 Maret 2016

Rabu, 18 November 2015

ALLAH-KU

 
Allah, dengan gagah menepuk pundak sang hamba seraya berkata mengokohkan hati, "Aku tak akan diam apabila ada yang mengusikmu."
Dia pun tersenyum lembut dan mengelus kepala sang hamba, "Karena Aku, selalu membersamaimu."
Begitulah Dia, yang selalu hadir dan memang hendaknya selalulah kita hadirkan dalam setiap waktu. Karena Dia yang paling mengerti kita. Rasakan getar cinta-Nya. Rasakan kehadiran sang Maha Kuasa. Hasbunallah...


~ Qurani
http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html
Diberdayakan oleh Blogger.