Sudah
tahu salah satu karya Ust. Felix Y. Siauw yang berjudul "Udah Putusin
Aja!" kan?
Yup, ini berbeda dengan karya Ustadz mu'allaf itu. Lebih tepatnya, ini tentang "Udah Bundarin Aja!"
Yup, ini berbeda dengan karya Ustadz mu'allaf itu. Lebih tepatnya, ini tentang "Udah Bundarin Aja!"
Sebelum
ke inti bahasan “Udah Bundarin Aja!”, sejenak saya ingin berbagi kisah
nyata yang sering kali terjadi di pondok pesantren dan kehidupan bermasyarakat
pada umumnya.
*****
Alkisah
tiga santri (Restu, Infanda dan Narnia *nama samaran) tengah berseteru satu
sama lain dikarenakan satu kesalahpahaman. Awalnya ketiganya pergi bersama
keluar pondok karena ada urusan. Di tengah perjalanan Narnia hendak membeli es
titipan teman-teman di kamarnya dan penjual es tersebut kebetulan
memanggilnya.
“Ya
sudah, kalian berdua duluan saja. Biar Narnia menunggu di sini,” ujar penjual
es yang sudah sangat familiar dengan mereka.
Narnia
terdiam tanpa kata, memandang keduanya dan gerak langkahnya menuruti saran
penjual es. Melihat sikap Narnia yang demikian, Restu dan Infanda pun
meninggalkannya, menuju rumah penjahit pakaian. Sepanjang perjalanan mereka
saling mengungkap rasa kecewa atas sikap Narnia yang seakan membiarkan mereka
pergi bahkan menganggap Narnia mengusir mereka.
Usai
urusan dengan penjahit, Restu dan Infanda memilih jalur lain menuju pondok.
Mereka sepakat untuk tidak lewat pintu belakang, mengira pintu itu sudah
ditutup karena jam sudah menunjukkan hampir maghrib. Mereka juga sepakat
membiarkan Narnia di penjual es, tidak ingin menjemputnya atau kembali bersama
karena terbesit kemarahan di hati mereka.
“Biar
saja, salah sendiri dia mengusir kita, membiarkan kita pergi lebih dulu. Pasti
sekarang dia juga sudah pulang ke asrama dan gerbangnya sudah ditutup. Biar,
nanti pasti kita berdua yang dimarahin ustadzah karena kita tidak pulang
bersama-sama.”
Sementara
itu Narnia tak sabar lagi menunggu mereka yang sudah cukup lama tak kunjung
kembali. Ia pun memutuskan pulang lebih dulu saat gerbang belakang belum
ditutup.
“Tuh
kan, banyak anak putra. Kita mau lewat mana lagi? Biarlah, terpaksa lewat
gerbang putra.” Dengan hati dongkol Restu dan Infanda bergegas masuk melalui
gerbang putra.
Sesampainya
di asrama putri mereka melihat Narnia sudah berada di kamar dengan membawa satu
kresek berisikan beberapa bungkus es. Mereka pun menceritakan kejadian dan
kemarahannya kepada salah seorang musyrifah asrama karena juga merasa memiliki
tanggung jawab atas perizinan ketiganya yang akhirnya tidak kembali bersama.
Terjadilah
gesekan di antara ketiganya. Mereka tidak saling sapa bahkan sama-sama
tersungkur di balik selimut masing-masing. Ketiganya saling diam setelah
sama-sama mengungkapkan kekecewaan dan kemarahan. Bahkan air mata membasahi
pipi mereka.
Selang
beberapa waktu kemudian datanglah sang musyrifah ke kamar mereka, menjadi
penengah atas kesalahpahaman mereka. Uraian demi uraian disatupadukan dari
laporan yang semula masuk dengan informasi berbeda satu sama lain. Dari
penyatuan keterangan itupun diketahui bahwa ada kesalahpahaman di antara
ketiganya.
Narnia
yang linglung dan hanya diam menuruti saran penjual es yang bernama Bu Ndari
atau biasa juga dipanggil Mbak Ndari (istri Pak Kholid petugas kebersihan) itu
sejatinya tidak bermaksud mengusir kedua temannya. Dia yang lama menunggu
mereka pun merasa kecewa dan marah karena keterlambatan mereka tanpa kabar. Ia
berpikir kedua temannya meninggalkannya sehingga ia memilih segera kembali.
Sementara
Restu dan Infanda juga berpikir tentang pengusiran yang dilakukan Narnia serta
ketidaksetiakawanannya, berangapan Narnia sudah lebih dulu kembali dan
mengacuhkan mereka. Jelaslah sudah kesalahpahaman mereka. Proses penyatuan
tidak serta merta langsung terwujud, masih ada hati-hati yang dongkol sehingga
tidak segera memaafkan.
“Ya
sudah, semuanya kan tidak ada yang salah. Tadi hanya bermula dari tawaran Bu
Ndarin, kan?” ujar musyrifah.
“Bukan
Bu Ndarin, Us... Tanpa ‘N’, Bu Ndari,” sahut beberapa santri lain yang
mengikuti proses mediasi dengan diiringi tawa riuh karena sang musyrifah
berulang kali salah menyebut nama penjual es itu.
Singkat cerita, setelah diberi
pengertian hingga rayuan beberapa santri lainnya, akhirnya Restu, Infanda dan
Narnia pun saling memaafkan dan berpelukan. Seluruh santri di dalam kamar
tersebut kembali dalam keceriaan dan tawa persahabatan.
“Ukhti harus saling memaafkan.
Biasanya kalau kita bertengkar kan anti juga yang bilang agar kita saling
memaafkan dan tidak marah-marah,” kata salah seorang santri berkacamata.
“Iya... Masak kita harus
bertengkar,” tambah santri lain yang juga
ditambah komentar beberapa santri. Senyum kembali merekah, satu kesalahpahaman
telah usai.
“Alhamdulillah, Finish yaa.. Tidak ada salah paham dan marah-marahan
lagi, kan? Besok beli es di Bu Ndarin tidak pakai saling dongkol lagi yaa..”
tutup sang musyrifah.
“Bukan Bu Ndarin, Us.... Ndari,
tanpa ‘N’,” teriak seluruh santri diiringi tawa. Rupanya ada kesalahpahaman
kedua yang muncul tentang Bu Ndarin.
“Eh iya, Bu Ndari. Bukan Bu
Ndarin. Nah, cocok nih.. Udah Bundarin
Aja!”
Seluruh santri bertanya-tanya,
saling pandang tak mengerti maksudnya. Bundarin? “Udah Bundarin Aja!”, maksudnya? Mereka dibuat penasaran akan
makna kalimat singkat itu.
*****
Yup! Ada maksud lain dibalik “Udah Bundarin Aja!”
Berasal dari kata bundar yang berarti
lingkaran, melingkar. Dalam bahasa santai non formal, budarin berarti kata
perintah yang menunjukkan agar melingkar. Lebih jauh, bundarin atau
lingkarkanlah, bundarkanlah bermaksud agar kita merundingkan bersama dalam
bundaran ukhuwah, bundaran musyawarah, bundaran perdamaian.
Seperti halnya kisah
kesalahpahaman tiga sahabat tadi yang pada akhirnya dapat diselesaikan dengan
proses ‘pembundaran’ oleh beberapa orang yang saling berupaya menyelesaikan,
memiliki hajat yang sama yaitu perdamaian dan keutuhan persahabatan.
“Udah Bundarin Aja!” mengajarkan kepada kita untuk tidak
memperpanjang permasalahan yang ada. ‘Jangan persulit kesukaran dan jangan
persukar kesulitan’ dengan ‘menyelesaikan masalah tanpa masalah’.
“Udah Bundarin Aja!” juga mengajarkan adanya ketidaksempurnaan
dalam diri manusia, ada khilaf yang harus disatupadukan kembali dengan cara
manusia, cara kekeluargaan dan saling pengertian. ‘Man tholaba akhon bilaa ‘aibin baqiyaa bilaa akhin,’ artinya, ‘Barangsiapa
mencari teman yang tidak memiliki aib atau cela, maka ia tidak akan mendapatkan
teman.’ Itulah sebabnya memiliki sifat saling mengerti dan memaafkan akan
membuat hati lebih legowo dan sahabat
akan mudah didapat.
“Udah Bundarin Aja!” mengajak kita untuk menyederhanakan
permasalahan, menyambungkan jalinan persahabatan yang mungkin telah didoktrin “Udah Putusin Aja!”
Jika yang dimaksud dengan “Udah Putusin Aja!” untuk hal-hal negatif,
maka itu sangat dianjurkan, memotong habis segala keburukan menuju perbaikan.
Namun jika digunakan untuk memutus ikatan positif, maka jalan yang harus
ditempuh adalah “Udah Bundarin Aja!”
“Udah Bundarin Aja!” bukan sekedar nama seorang penjual es, ada
makna lain yang tak sengaja didapat dan mampu memberikan pelajaran kepada kita
agar bisa berpikir lebih dewasa, bijak dan bersahabat. “Udah Bundarin Aja!” Lupakan kedongkolan, lupakan kesalahpahaman,
satukan kembali ikatan, bersama dalam ukhuwah Islamiyah.
“Udah Bundarin Aja!” akan menjadi sebuah kisah klasik untuk masa
depan bagi santri putri SMP-MBS Jombang, juga menjadi hikmah bagi yang lainnya
untuk dijadikan pecikan inspirasi dengan menyederhanakan permasalahan,
menyelesaikan masalah dan bukan mempermasalahkan masalah. “Udah Bundarin Aja!”
~ Qurani
Bareng, Jombang | 4 Mei 2016
0 komentar:
Posting Komentar