Bapakku, Pahlawanku.
"Yups. That is your name. Qurrotu Ainy : dhomir anaa / nahnu. Bapak sebut-sebut nama itu di gerbang keluar Ponpes Persis."
Sebuah pesan singkat dari kakak pertamaku yang banyak tahu tentang sosok pahlawan itu. Ya, dialah Bapakku tercinta.
Sempat aku protes dengan nama itu saat aku masih anak-anak. "Kenapa namaku jelek?"gerutuku dalam hati. "Ah, apalah arti sebuah nama." Pikirku berpositif.
Beranjak dewasa akupun paham, bahwa ada doa di situ. Semakin memahaminya akupun semakin sadar akan kedalaman maknanya. Nama itu yang termaktub dalam al-quran, yang disebut dalam doa, yang menjadi penyejuk mata hati. Tak hanya itu, panggilan Ai pun menyiratkan makna cinta dalam arti bahasa yang berbeda. Bahkan tak sedikit yang memanggilku Ratu. Akupun mulai tersenyum dan bersyukur.
I still can hear your voice calling out my name.
Seketika teringat memori masa kecil bersamanya. Beliaulah yang sangat sederhana, tak banyak bicara, diam, sabar, penyayang, tegas dan sungguh bijaksana.
Saat itu aku merengek menangis karena Bang Rhoma.
"Pak dhe, pak dhe.. Mbak Ani pacarnya Rhoma Irama. Itu Rhoma nanyi Ani..Ani..." seorang tetangga menggodaku hingga membuatku menangis dan tak menyukai Bang Rhoma. (Maaf Bang Rhoma, itu memori masa kanak-kanak (^^)).
Melihat aku tak terima, beliaupun dengan tenang berkata, "tidak apa-apa... Itu cuma nyanyian, film.. tidak sungguhan." Dan akupun kembali bermain.
"Pak dhe, pak dhe.. Mbak Ani pacarnya Rhoma Irama. Itu Rhoma nanyi Ani..Ani..." seorang tetangga menggodaku hingga membuatku menangis dan tak menyukai Bang Rhoma. (Maaf Bang Rhoma, itu memori masa kanak-kanak (^^)).
Melihat aku tak terima, beliaupun dengan tenang berkata, "tidak apa-apa... Itu cuma nyanyian, film.. tidak sungguhan." Dan akupun kembali bermain.
Bapakku, pahlawanku. Beliaulah yang pandai berbagi waktu dengan keluarga. Di tengah kesibukannya masih bisa menyisakan waktu untuk sekedar berkisah, memberi sentuhan hangat kepadaku sebelum terlelap, mengantarku ke sekolah, memberikan kejutan hadiah di meja kamar tidurku saat aku sudah asyik bersama mimpi dan membuatku tertawa riang esok paginya, yang rela kembali ke pasar hanya untuk membelikan pita untukku, yang erat mendekapku kala kepolosan anak2 yang berpetualang dan memakan tumbuhan sehingga berakibat pada keracunan massal bersama teman-teman, yang mengayun-ayunku setiap sore ketika aku mulai mengganggu di pangkuannya saat ia membaca koran, yang setiap libur sekolah jumat mengajakku ke kantor dan menemaninya bekerja, yang menyisakan waktu untuk liburan keluarga, yang meninggalkan pekerjaan untuk memenuhi undangan reuni keluarga ibu, yang berhujan-hujanan menjemputku di malam hari setelah mengaji di masjid dan akupun berlindung di balik tubuhnya saat kilat membelah langit tepat ketika kami berjalan di depan kuburan.
Beliau yang waktu itu bersama ibu memuji dan memotivasiku saat beliau bertanya, "cita-citamu apa, nak ?"
"Aku mau jadi guru !" Aku pun tertawa riang melihat keduanya tersenyum mengamini dan menambah guyonan yang membuat Ani kecil ge-er.
"Aku mau jadi guru !" Aku pun tertawa riang melihat keduanya tersenyum mengamini dan menambah guyonan yang membuat Ani kecil ge-er.
Beliau juga yang mengajarkan tentang rasa "eman" dan menghargai hal yang dianggap kecil. Yang ketika uang seratus perak logam kuningku terjatuh di closet, beliau membungkus tangannya dan mengambilnya untukku. Juga saat uang lima puluh perak (hanya lima puluh!) milikku terjatuh di tumpukan kayu, dengan bijak beliau mengutusku untuk tetap mengambilnya, sekecil apapun itu masih bisa dimanfaatkan dan tak boleh disia-siakan.
Pun beliau yang menyelesaikan permasalahan keluarga dan beberapa kelompok dengan tenang, bijaksana dan mengedepankan musyawarah. Yang selalu sempatkan untuk menjenguk putra-putrinya dimanapun berada dalam rangka menuntut ilmu.
Beliaulah yang dengan sabar menerima dan melayani seorang lelaki tua yang telah hilang kesadaran berfikirnya. Ya, lelaki tua itu, masih kental di ingatanku. Wak Ekrom, begitu kami memanggilnya. Beliau adalah guru Bapak yang tak lagi waras. Yang rutin tiap Ba'da subuh, dhuhur dan isya' datang ke rumah untuk mengetuk pintu mencari Bapak atau sekedar berceramah di depan rumah. Di saat yang lain takut dan enggan kepada Wak Ekrom, dengan tenang beliau melayaninya, membiarkannya tetap berceramah meski saat itu tengah ramai tamu di rumah. Beliau yang saat itu mengajarkan agar tidak memandang orang lain dengan sebelah mata.
Semua telah berlalu begitu indah. You went so soon, so soon.. you left so soon, so soon..
Saat beliau telah kembali kepada-Nya, Wak Ekrom pun sedikit demi sedikit tak muncul di rumah, lama-lama beliau tak pernah lagi datang ke rumah hingga kami pun merindukan celotehannya, dalil2 yg beliau sampaikan, juga ketukan batu di kaca jendela setiap ba'da subuh. Dan terakhir yang kudengar, Wak Ekrom telah berpulang juga. Allahummaghfirlahumaa.
My Dad, My Hero. I miss the time you were around.
But I’m so grateful for every moment I spent with you.‘Cause I know life won’t last forever.
But I’m so grateful for every moment I spent with you.‘Cause I know life won’t last forever.
Tak banyak yang aku tahu tentang pahlawanku. Hanya beberapa kenanganku dan juga saudara-saudaraku bersamanya. Hanya mendengar dari beberapa orang termasuk ibu, kakak dan kerabat atau sahabat beliau.
Aku, sangat bersyukur telah menjadi darah daging dari seorang lelaki malikat itu. Dialah pahlawanku.
Di sini, di hati ini, engkau selalu menemani.
Dan kelak, kita kan berjumpa di surga-Nya. Aamiin.
Dan kelak, kita kan berjumpa di surga-Nya. Aamiin.
Hanya secuil catatan di hari pahlawan. Sekedar mengambil moment, sedikit berhiper-hiper dan sejenak mengenang.
Anda tentu punya kisah tentang pahlawan itu juga, bukan ? smile emotikon
love you my Dad..
@Annie
Bondowoso, 12 Nopember 2015
@Annie
Bondowoso, 12 Nopember 2015
0 komentar:
Posting Komentar